Pohon Keramat (Tenget)
Tulisan berikut adalah ulasan dari tulisan I Nym Miarta P tentang mitos-mitos tanaman upakara yang digunakan oleh orang Bali yang beragama Hindu. Tulisan-tulisan dari bapak Nyoman ini sangat bagus dan menarik sekali sehingga membuat saya tertarik untuk meng-quote dan mengulas, serta menuliskan kembali apa konsep apa yang coba ingin diutarakan. Konsep pemikiran yang dituangkan di sini sangat cocok dengan apa yang juga saya coba sampaikan di blog http://peopleofbali.blogspot.com ini yaitu agar orang Bali memeluk agama Hindu dengan cara yang lebih smart dan masuk akal sehingga lebih menguatkan iman Ketuhanan pada Ida Sang Hyang Widi Wasa.
Pohon Keramat (Tenget) |
Tenget adalah penyebutan angker di Bali. Saya tidak berani bilang jika tenget adalah bahasa Bali tapi karena referensi yang saya dapatkan masih belum cukup kuat untuk menyimpulkan tenget adalah bahasa Bali. Yang jelas, tenget adalah sebutan angker di Bali. Jadi jika ada sebuah tempat yang angker misalkan pohon yang lebat, besar dan jauh dari keramaian sering kali disebutkan sebagai pohon tenget.
Pohon-pohon yang tumbuh liar di pinggiran sungai besar atau kuburan biasanya termasuk dalam kategori tenget. Lokasi jauh dari keramaian dan pernah terjadi sebuah peristiwa yang mengesankan secara sprituil juga sering kali disebut sebagai tenget.
Saya sependapat dengan Pak Nyoman bahwa keangkeran/ke-tenget-an sebuah pohon tidak bisa lepas dengan lokasi di mana pohon tersebut berada dan bagaimana lingkungan (masyarakat) memperlakukan pohon tersebut. Jika dilihat pada gambar di atas, sebuah pohon diberikan kain putih hitam yang di Bali dikenal dengan saput poleng, belum lagi biasanya diberikan sebuah sanggah cucuk dan hiasan ornamen laennya yang akan membuat tenget menjadi semakin bertambah. Belum lagi cerita-cerita yang dibumbui tentang hal-hal yang kurang bisa diterima akal semisal banyak orang hilang di pohon tersebut dan lainnya akan membuat orang sekitar menjadi menambah arti kesucian di areal tersebut.
Di Bali, pohon tenget akan seterusnya menjadi tenget selama orang Bali yang beragama Hindu terus menjaga kesucian dari pohon tersebut, terus menghaturkan sesaji di areal pohon tersebut. Secara pribadi saya tidak pernah menyalahkan orang lain selain orang Bali yang beragama Hindu, jika melihat hal-hal seperti ini menggunjingkan atau mencibir. Bahkan seringkali menyimpulkan bahwa orang Hindu di Bali seringkali memuja pohon dan sejenisnya. Tidak bisa disalahkan, karena memang seperti itu yang tampak dan tidak banyak dari orang Hindu Bali yang melakukan hal-hal seperti ini dengan konsep yang jelas.
Pak Made dalam tulisannya mengupas konsep tenget ini dengan jelas. Bahwa tenget mempunyai sisi positif yang sangat tinggi. Dengan adanya tenget, masyarakat Hindu di Bali tidak pernah berani berbuat sesuatu yang tidak baik di areal tersebut. Misalkan jika pohon tenget ada di perempatan jalan besar, maka kebiasaanya orang Hindu Bali akan membunyikan klakson motor/mobilnya atau melambatkan kendaraannya, bahkan pada saat tidak ada rambu atau polisi lalu lintas ! Belum lagi masyarakat Hindu di Bali tidak akan berani melakukan pengerusakan lingkungan apapun di areal tersebut karena takut akan adanya hukuman niskala, hukuman dari dunia spiritual.
Hal ini memberikan keuntungan di sisi lingkungan bahwa fakta membuktikan bahwa pohon-pohon tenget adalah pohon-pohon yang sudah berumur dan cenderung langka. Pohon-pohon ini sangat jarang ditebang tentunya otomatis akan memberikan penjagaan terhadap kelestarian lingkungan.
Ada beberapa kayu yang merupakan pantangan di kehidupan orang Hindu Bali untuk digunakan sebagai tempat tinggal yaitu :
- rebutkala, kayu ini di ambil dari pohon tenget yang sering kali terjadi kejadian gaib di pohon tersebut. Orang Hindu Bali meyakini jika dibuat sebagai tempat tinggal maka penghuninya akan sering tertimpa penderitaan dalam hidupnya.
- sesawadung, kayu hasil tebangan sebelumnya yang tumbuh kembali menjadi kayu yang besar. Penghuninya sering tertimpa penyakin dan kemalangan serta kematian mendadak.
- anepiluwah, kayu yang tumbuh di tepi sungai. Penghuninya akan sering tertimpa penyakit.
- candragni, kayu yang tumbuh di Pemrajan atau tempat pemujaan Hindu Bali. Penghuninya sering dijauhi rejeki.
- bhutagrha, kayu yang diambil dari kuburan. Penghuninya sering bertindak aneh seperti orang gila.
- pamali wates, kayu yang diambil dari pembatas/sekat perumahan. Penghuninya akan berumur pendek.
- asurigrha, kayu yang diambil dari tepi danau dan kolam. Penghuninya sering keguncangan pikiran.
- sagagak, kayu yang sering di hinggapi oleh burung gagak. Penghuninya diyakini akan sering tertimpa kemalangan dan nasib malang.
adanya aturan dan keyakinan bahwa kayu dari pohon-pohon tertentu tidak patut ditebang dan digunakan sebagai tempat tinggal adalah bukti nyata bahwa leluhur orang Hindu Bali memang betul-betul sudah menerapkan konsep Tri Hita Kara sehingga tercapai keseimbangan alam dan penghuninya.
0 comments:
Post a Comment